Maksud dari pengembangan usaha sapi potong dalam negeri adalah untuk mendayagunakan potensi sumberdaya lokal secara optimal guna memenuhi kebutuhan konsumsi daging sapi masyarakat Indonesia. Lebih jauh, pengembangan ini diharapkan mampu mengurangi ketergantungan impor bakalan dan daging sapi sesuai dengan kerangka pencapaian Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau 2014 yang diterbitkan oleh Kementerian Pertanian RI tahun 2010.
Populasi sapi potong Nasional pada tahun 2009 adalah 12,8 juta ekor dan mengalami kecenderungan mengalami pertumbuhan populasi rata-rata sebesar 5,7 % per tahun dari populasi 10,8 juta ekor pada tahun 2006 (Ditjen Peternakan-Pedoman Pelaksanaan Penyelamatan Sapi Betina Produktif, 2010).
Mengacu pada UU Nomor 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan serta blue print Swasembada Daging Sapi 2014, Direktorat Jenderal Peternakan Kementerian Pertanian telah
melaksanakan berbagai program dan kegiatan strategis melalui pola pemberdayaan dan fasilitasi kelembagaan petani peternak sapi potong dalam upaya percepatan pertumbuhan populasi sapi potong dalam negeri, sambil menghilangkan berbagai faktor penghambat laju pertumbuhan populasi sapi potong dalam negeri.
Salah satu faktor penghambat laju pertumbuhan populasi sapi potong di Indonesia adalah pemotongan terhadap sapi betina produktif yang semakin tidak terkendali. Hal ini karena terjadi ketidakseimbangan antara jumlah permintaan dengan persediaan yang ada. Selain itu, adanya desakan kebutuhan ekonomi bagi peternak sehingga sapi betina produktif yang dimilikinya dijual dan berujung di Rumah Potong Hewan (RPH).
Sehubungan dengan hal tersebut, pada tahun 2010 Direktorat Jenderal Peternakan mengalokasikan anggaran APBN untuk memfasilitasi kelompok tani ternak yang potensial di lokasi strategis guna melakukan kegiatan penyelamatan sapi betina produktif yang diperdagangkan dengan tujuan akhir di RPH.
Sapi betina produktif adalah sapi yang melahirkan kurang dari 5 (lima) kali atau berumur dibawah 8 (delapan) tahun, atau sapi betina yang berdasarkan hasil pemeriksaan reproduksi oleh dokter hewan atau petugas teknis yang ditunjuk di bawah penyeliaan dokter hewan dan dinyatakan memiliki organ
reproduksi normal serta dapat berfungsi optimal sebagai sapi induk.
Dalam blue print Swasembada Daging Sapi 2014, berikut beberapa mekanisme yang dijadikan acuan kegiatan :
A. Mekanisme Penyelamatan Sapi Betina Produktif di sektor Hulu
- Pemeriksaan status reproduksi ternak sapi potong betina produktif
- Sapi betina produktif yang belum bunting, selanjutnya di IB sampai terjadi kebuntingan.
B. Mekanisme Penyelamatan Sapi Betina Produktif di sektor Hilir (Rumah Potong Hewan)
- Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sedikitnya ada 16,2 juta ekor populasi sapi dan kerbau di Tanah Air. Hal ini merupakan hasil sensus ternak sapi dan kerbau 1-30 Juni 2011. Berdasarkan perkembangan data olah cepat perhitungan BPS per tanggal 3 Juli 2011 persentase desa yang telah dicacah mencapai 99,4%. Dari itu dihasilkan data jumlah populasi sapi dan kerbau lokal mencapai 16.200.633 ekor.
- Angka itu terdiri dari jumlah sapi potong 14.367.975 ekor, jumlah sapi perah 566.974 ekor dan jumlah kerbau 1.265.699 ekor. Progres beberapa wilayah yang sudah dilakukan perhitungan yaitu Aceh mencapai 99,7%, NTT sebesar 99,7%, Kaltim sebesar 98,1%, Papua Barat sebesar 99,9% dan Papua 88,4%
Menurut Dirjen Peternakan waktu itu, jika kita bisa memenuhi semua kebutuhuan itu maka kita tidak perlu impor. Tapi dalam aturannya kita bisa menyisakan 10% untuk impor, jadi tidak full 100%. Kalau sudah bisa memnuhi 90% bisa dibilang swasembada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar